Bandara, Udara, dan Segala Tempat yang Kuharap akan Ada Kita

Dion Dexon
3 min readFeb 16, 2023

— untuk CMHP di kejauhan, yang sebenarnya saat ini tidak terlalu jauh, tetapi kelak akan sering jauh dariku.

Foto oleh Richard Felix di Unsplash

I.

Lagi-lagi, aku kehilangan kata untuk dikatakan. Aku tidak tahu apa yang lebih tepat untuk dilakukan sekarang: mengatakan semua yang ada di kepalaku secara berantakan atau memelukmu tanpa mengatakan apa-apa selain aku mencintaimu. Aku sering tidak tahu hal yang tepat untuk dilakukan. Setiap kali aku mengingatmu, aku selalu mengingat senyum. Aku selalu ingin kembali ke sana, ke hadapanmu, dan melihat senyum itu berkali-kali — sungguh satu doa yang saat ini terasa mustahil.

II.

Demam melahirkan banyak pikiran aneh di kepalaku. Aku jadi takut kehilangan banyak hal. Kadang, aku lebih memilih untuk berada jauh dari rumah ketika aku sakit. Sebab, berada di rumah dalam kondisi tidak sehat hanya memperburuk kondisiku. Terlalu ramai di sini. Terlalu banyak masalah yang sebenarnya tidak perlu ada; hanya dibuat-buat dan ikut melibatkan kepalaku sebagai pencari jalan keluar.

Aku sedang tidak ingin mencari jalan keluar. Aku hanya ingin berada di sebelahmu, melupakan hal-hal tak perlu yang ada di sini, lalu tidur dengan rasa tenang dan lengkap.

III.

Suatu hari nanti, saat kamu berada dalam satu penerbangan lain, aku akan menjadi salah satu orang yang setia menunggu. Menunggumu mendarat. Menunggumu punya waktu istirahat. Menunggumu punya waktu. Aku tahu, mustahil untuk memberikan 24 jam milikmu dalam sehari. Tapi, tolong kabari aku dalam setiap waktu kosongmu. Aku akan selalu menunggu.

Pada setiap waktu kosongmu, aku akan mengosongkan waktuku.

IV.

Bandara memisahkan dan membatasi banyak hal. Ia memisahkan Jakarta dan Makassar. Ia membatasi Jakarta dan Deli Serdang. Ia membatasi banyak tempat di mana kita tidak bisa benar-benar menjadi kita dalam satu foto yang sama.

Dalam segala yang sempat terpisah dan kelak akan memisahkan kita lagi ini, aku mencoba mencukupkan apa yang seharusnya cukup di dalam diriku, seperti: kesehatanmu, kebahagiaanmu, mimpimu. Selama kamu bisa mencapainya, aku rasa tidak apa-apa jika duniaku harus terbalik dan terguncang ribuan kali.

V.

Aku sangat benci turbulensi. Turbulensi mengaduk pikiranku — selalu begitu. Ia membuatku memikirkan banyak hal; dosa-dosa, kawan lama, guru masa kecil, permintaan maaf yang belum sampai, dan hal-hal lain yang jarang muncul sebelumnya.

Aku tidak tahu berapa banyak kamu akan menjumpai turbulensi dalam tualangmu. Tapi, setiap kali guncangan itu menjumpaimu, aku harap kamu menyediakan ruang untuk mengingatku — sebab aku pun melakukannya, setiap kali kehidupan mengguncangku dan membuatku kesulitan memijakkan kaki ke tanah.

VI.

Aku harap kita bisa sungguh memiliki hari ini. Aku harap kita benar-benar memanfaatkan waktu sebelum semuanya makin terbatas dan makin sulit diisi. Waktu tidak bisa kembali, kecuali suatu hari nanti ada jasa meminjamkan waktu di Bumi. Tapi, Tuhan takkan setuju. Aku tahu Dia tidak akan menambah ataupun mengurangi waktu kita. Semua tepat dalam rencana-Nya, dan dengan merahasiakan seluruh waktu itu dari kita, kita jadi lebih sadar soal berbahagia dan membahagiakan satu sama lain hari ini juga.

VII.

Menurutmu, siapa yang mampu terbang lebih tinggi? Pesawat yang sedang memiliki dirimu, atau rasa kangen yang ada dalam diriku? Mari kita lihat nanti, saat pesawatmu mendarat di bandara tujuan, dan rinduku mendarat tepat di dalam dirimu; sanubarimu.

VIII.

Saat kamu berada jauh dariku, udara adalah batasnya. Dan doa-doa, selalu bisa melaju dan membelah udara; menghampirimu dan menggantikan wujud aku yang menanti setiap kabar tenang dan bahagia.

Jika kamu punya waktu, jangan lupa kabari aku. Aku selalu menjaga kehangatan hatiku untukmu — agar kamu tidak pernah merasa kedinginan dan sendirian. Terima kasih karena telah menghentikan dan mempercepat waktu. Terima kasih karena telah mengisi segala ruang di dalam aku.

Selalu ada landasan pacu untuk setiap kasih sayangmu.

[ Dionisius Dexon ]

--

--

Dion Dexon

Dionisius 'Dion' Dexon. Aku menulis agar kepalaku tidak meledak — IG/X: @diondexon